Wednesday, November 5, 2014

Take a knee and smile

Colonel's strategy victory

Somewhere in Iraq in the early days of US attacks, a group of soldiers went to a local mosque to ask assistance for distribution of supplies to the people in that village. Not knowing of the soldiers’ intention, a mass of people gathered and intended to defend their sacred building and protect their spiritual leaders. Yelling and waving their hands in the air, the villagers then circled the soldiers from several angles. The atmosphere was so tense. One single provocative act might pull the trigger from the soldiers’ automatic rifles and start the killing of unarmed villagers. Lieutenant Colonel Christopher Hughes reacted in an instant. Unexpectedly, he took the megaphone and calmly said to his men, ‘Soldiers, on your knee.’ That means the soldiers had to kneel on one knee. He shouted at his men to point their rifles to the ground. Then, came that order, ‘Now, smile.’ At this point the tension went down. Some people were still yelling but most of them smiled back at the soldiers. They came closer to the soldiers and even patted their back gently as the US army retreated slowly with smile on their faces.

Wednesday, October 29, 2014

Holistic staff development

Some challenging notes on holistic staff development.

  1. What kind of soil are you bringing to the people around you? Are you a rocky type of person Or are you a fertile soil type of person?
  2. If you don't like children and if you don't care about poverty, go work somewhere else. There's the door.
  3. Do you bring life to rooms you walk in? Or do you suck life out of rooms?
  4. You cannot give what you do not have.

Thursday, July 24, 2014

Wednesday, July 23, 2014

Talent

Selecting for talent is the manager's first and most important responsibility. If he fails to find people with the talents he needs, then everything else he does to help them grow will be as wasted as sunshine on barred ground. John Wooden, the legendary coach of the UCLA Bruins, puts it more pragmatically.

"No matter how you total success in the coaching profession, it all comes down to a single factor-TALENT. There may be a hundred great coaches of whom you have never heard in basketball, football, or any sport who will probably never receive the acclaim they deserve simply because they have not been blessed with the talent. Although not every coach can win consistently with talent, no coach can win without it."

According to everything we have heard from great managers, the coach is right. But he is also a little humble. What made John Wooden so successful was not just the talents on his teams, but also his ability to create the right kind of environmental to allow those talents to flourish. After all, talent is only potential. This potential cannot be turned into performance in a vacuum. Great talents need great managers if they are to be turned into performance.

Buckingham and Coffman (1999). 
First, break all the rules. What the world's greatest managers do differently.

The challenge now is for the managers to realize this in recruiting the right person on the right seat. And also for those who strive for performance, are you performing your talent?

Thursday, June 19, 2014

Just Do It - Lesson learned from sharing about my passion

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti sebuah pertemuan yang dihadiri oleh beberapa Training Manager dan Training Specialist yang melayani di Compassion Asia Region. Di awal pertemuan ini kami diminta untuk berkenalan dengan satu orang yang baru ditemui dalam kegiatan ini. Untuk menuntun proses berkenalan ini kami dipandu oleh 5 instruksi yang diberikan oleh fasilitator.

  1. Tulislah nama lengkap teman anda.
  2. Berapa lama dia sudah melayani di Compassion?
  3. Minta dia untuk menceritakan 1 informasi menarik tentang dia yang belum diketahui banyak orang.
  4. Buatlah sebuah gambar berkaitan dengan informasi baru yang anda peroleh dari teman anda.
  5. Perkenalkan teman anda ini kepada semua orang dalam ruangan.
Dalam kegiatan ini, saya berkenalan dengan Benagas, Training Manager dari Compassion India. Sebenarnya bungung juga memikirkan informasi tentang diri saya, yang menarik tentunya, yang saya bisa bagikan. Nah, karena sebelum kegiatan ini kami mengadakan ibadah dan disitu ada puji-pujian yang diiringini dengan gitar, maka saya pikir bagus juga untuk menceritakan kepada Benagas tentang kerinduan saya untuk bisa memainkan alat  musik gitar. Keinginan ini sudah ada sejak saya masih SMA dulu sampai waktu kuliah. Yang saya ingat, saya selalu dikelilingi oleh teman-teman yang bisa memainkan gitar. Tapi kenapa ya saya tidak bisa main gitar. Sudah beberapa kali berusaha belajar dari teman-teman sekitar tapi selalu gagal. Oh ya, istri saya punya suara yang bagus dan ada kerinduan untuk bisa mengiringi istri saya menyayi, terlebih kalau bisa mengiringi dia menyanyi di gereja. Setelah selesai membagikan hal ini, Benagas membagikan beberapa tip yang menarik (mungkin juga sudah pernah saya dengar dari orang lain tapi mungkin penyampaian Benagas yang sangat memotivasi saya sehingga saya sangat terkesan).

  • Not too late to learn something new.
  • Pilih satu lagu yang saya sukai.
  • Cari chord lagu ini di internet.
  • Latihlah memainkan lagu ini dengan gitar, berulang-ulang kali. Karena ini adalah pembiasaan, usahakan untuk terus menerus latihan dengan satu lagu ini bukan hanya satu minggu, tapi bisa beberapa minggu, atau dalam hitungan bulan. Intinya biasakan diri dulu untuk bisa dengan satu lagu sebelum memainkan lagu yang lain. 
  • Get the feeling, perpindahan dari satu chord ke berikut. 
  • Kuasai memainkan lagu tersebut.
  • Setelah benar-benar menguasai, mungkin dengan tambahan chord lainnya, pilihlah lagu yang lain yang saya sukai.
Memang ini kedengaran sangat sederhana dan sekali lagi, mungkin sudah pernah ada orang lain yang menyampaikan kepada saya tentang metode ini. Tapi dalam kesempatan tersebut ada hal yang yang saya pelajari yang melebihi kerinduan saya untuk main gitar. Hal itu berkaitan dengan tugas saya sebagai Training Specialist.

Sebagai Training Specialist, saya harus mampu untuk menguasai satu topik sebelum saya memfasilitasi pelatihan berkaitan dengan topik tersebut. Intinya saya tidak bisa memfasilitasi sebuah topik pelatihan dengan baik sebelum saya mempelajari dan menguasai topik tersebut. Topik tersebut mungkin saja adalah hal yang baru bagi saya. Karena itu saya harus berusaha untuk mempelajari hal tersebut, melatih memberikan pelatihan tersebut sebelum saya membantu orang lain menguasai topik itu. Learn it, master it, learn it, experience it. Just keep on learning.



Wednesday, June 4, 2014

POLITE- ics

Oke... memang kalo bicara tentang politik, banyak orang (yang menganggap diri mereka awam) akan langsung berujar bahwa topik ini adalah sesuatu yang tidak enak untuk jadi bahan diskusi, kotor, tidak up-to-date.
But look around you, terutama kalo menjelang masa-masa pemilihan calon legislatif, atau masa pemilihan pimpinan kepala daerah dan presiden, dimana-mana kita akan langsung mendengar pembicaraan tentang politik. Secara langsung, media sosial dan media massa membombardir masyarakat dengan berita-berita yang berkaitan dengan hal ini. Jadi secara sadar juga banyak orang yang kemudian meng-copy paste apa yang mereka dengar dan saksikan ke dalam diskusi-diskusi informal dan bahkan gosip-gosip dimanapun mereka berada.
So, politik ini akhirnya jadi bahan pembicaraan yang hangat dan 'enak' untuk dibicarakan.
From politik to POLITE-ics.

Tantangannya adalah bagaimana membawa remaja dan pemuda gereja masuk dalam ranah politik sehingga pembicaraan yang terjadi bisa menambah wawasan mereka tentang politik secara 'polite'.

Thursday, April 24, 2014

How to deliver a BORING training session

How about this challenge?

http://harnipandeirot.wordpress.com/2014/04/03/how-to-deliver-a-boring-training-session/

HOW TO DELIVER A BORING TRAINING SESSION …

Standard
Delivering a fun and interesting training session is easy.  Delivering a boring training session is even much easier. I can do it. You can do it. Everybody can do it.
Eager to know more?
Here are the tips.
Say ‘No’ to ice breaker and energizer activities. They are just wasting your time. Many people are so fond of having activities to fire up the participants or to grab the audience’s attention to the training session or to the facilitator him/herself. But you know what, this so-called ‘short’ activity is actually time-consuming because the participants will have fun and ask for more. ‘It’s not enough. We want more,’ they will say. Besides that, as a facilitator, you have to prepare yourself for that particular energizer. You need to at least know how to do it because you will be mocked if you facilitate an energizer that you do not master. You see, preparation for one energizer also requires your time and energy.
Avoid discussionWhen you give an opportunity for the audience or training participants to ask questions or to criticize the training materials/session, it will just open a window of opportunity for them to start questioning what you train. You will lose your power and dignity. The result of it is that they will not trust you for the next session. Therefore, do not ever end your session (or in the middle of the session) by asking, ‘Is there any question?’ Whatever the circumstance is, keep on going. If there are some people raising their hands and ask if they can ask some questions, just say, ‘Sorry, we do not have any discussion session for today.’ Easy, isn’t it?
I am Mr/s Know-All. Giving training is all about sharing to participants about you know. It’s all about what you know, not what they want to know. So, it is you who runs the show. You are the main actor. You see, people come to your training because they eager to know what you know. Well, there are also some participants who actually come to training with having background knowledge on the trained issues. Since they already know some things, they tend to test you with questions and comments that will discredit you. Well, with this kind of participants, simply tell them that your source is the right one and that theirs is out-of-date. If they insist on telling you comments that might endanger the whole training process, one key sentence that we can always say is, ‘We don’t have much time to argue about this. So why don’t you write your questions or comment on a piece of paper and I will give you better explanation later.’ Well, you know better that it will now likely to happen.
Keep talking, I mean that’s why you want to be a trainer, right? To train people. And to do so, you need to be good at talking. So, do what you’re good at. Talk. Don’t give an opportunity to the participants to start talking. If you do, they will steal your talking time and they will do the training instead.
‘Stay in your comfort zone.’ Your seat is your comfort zone. Why bother yourself to move around? It will just distract the participants’ attention. By staying at your seat or desk, participants can concentrate more and absorb the explanation that you give. Besides that you will not drop a single sweat, except if the room is hot and not air-conditioned.
Glue your audience to their seats. Don’t move. Freeze. It’s pretty much similar to ‘stay in your comfort zone’ idea. There is no advantage to invite participants to mingle and get to know each other. Trainees are here to absorb your explanation. This requires them to sit and enjoy the sessions. Isn’t it nice to have an audience that sits still?
There is no fun in having fun. Having fun requires extra energy, preparation, effort and ‘extraterrestrial’ media. If you concentrate on this thing, you will end up spending your valuable time just for the sake of entertaining the participants. I mean, what is the use of entertaining participants when you are not entertained with what you do to them. Participants attend your training for knowledge, skills, and for attitude. They do not come for laughter. They do not come for smiles. They definitely do not attend your training sessions for energizer and ice-breaker activities. And of course you do not want them to remember your training for the ‘fun’ they have. They should remember your training for the knowledge and skills they gain.
Quiet, please. Music, video, and other sound are prohibited. This multimedia stuff will just distract the participants’ attention, not to mention your concentration too. Moreover, having music and video require sound system and projector. What if the training venue does not provide these tools? Will you stick to your plan and have 30 – 40 participants gather around your laptop just to have a glimpse of what you play? How silly is that?
So, what do you think? It’s easy, isn’t it?
The question now is, ‘how boring can you go?’

Tuesday, April 22, 2014

Sekolah dan Perlindungan Anak

Sekolah dan Perlindungan Anak

TK JIS (Jakarta International School) akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang panas. Sumpah serampah dikeluarkan untuk pelaku sodomi terhadap seorang anak TK yang menjadi murid di sekolah. JIS yang jelas bukan sekolah ecek-ecek bahkan di artikel internet menyebutkan bahwa biaya sekolah JIS 20 juta.
Bahkan management dari JIS merupakan orang-orang berpengalaman yang diimpor dari negara lain.
Ngerinya bagaimana bisa ada sexual predator sampai ada di dalam sekolah. Bagaimana mereka yang mempunyai kelainan sexual sekolah anak-anak menjadi surga imajinasi seksual bagi mereka. Jelas JIS bersalah, dalam arti mereka kecolongan bisa merekrut tenaga kontrak untuk kebersihan yang ternyata sangat berbahaya bagi anak-anak.  Banyak artikel dan blogger membahas tentang bagaimana tips melindungi anak, tapi saya lebih menyoroti bagaimana pihak sekolah menyiapkan institusinya supaya tanggap terhadap perlindungan anak.
Realita Sekolah dan Perlindungan Anak.
Apabila seorang anak sudah masuk ke lingkungan sekolah dan orang tua biasanya akan menyerahkan tanggung jawab melindungi anak kepada sekolah. Di dalam sekolah pengaruh kontrol orang tua kepada anak-anak mereka akan kecil, akan sulit bagi orang tua untuk memantau anaknya setiap aktivitas di sekolah.
Melihat realitas sekolah-sekolah di Indonesia jarang sekali sekolah-sekolah yang paham tentang perlindungan terhadap anak (termasuk UU PA) dan bagaimana membangun situasi sekolah yang aman bagi anak. Apakah ada petunjuk (protokol) perlindungan anak di sekolah? Saya katakan selama saya hidup di Indonesia dan mencermati pendidikan saya tidak pernah bertemu sekolah yang menerapkan hal ini.
Padahal langkah pencegahan terhadap perilaku kekerasan terhadap anak harus menjadi prioritas untuk menjamin anak-anak dapat belajar dan bertumbuh di sekolah dengan baik, perlindungan anak menjadi sangat dasar.
Apa yang harus dilakukan?
Beberapa kali saya melatih Pusat Pengembangan Anak (PPA) yang dimiliki oleh gereja-gereja lokal tentang Perlindungan Anak. Ada perihal-perihal penting yang sekolah bisa mengadaptasinya, yaitu  :
  1. Protokol perlindungan anak, yang mengatur tentang tata cara perlindungan anak dan penanganan apabila terjadi kasus kekerasan terhadap anak.
  1. Komitmen kepada seluruh guru, staff, pekerja yang terlibat di sekolah dan mempunyai kesempatan tatap muka terhadap anak. Komitmen ini tidak sekedar janji, namun atas dasar dorongan kesadaran dan paham tentang konsekuensi kekerasan terhadap anak.
  1. Pengajaran tentang melindungi diri sendiri dari kekerasan (fisik, emosional dan seksual) kepada anak-anak. Tentunya harus memiliki kurikulum Perlindungan Anak yang memadahi.
  2. Pengajaran kepada orang tua tentang Perlindungan anak.  Orang tua pasti peduli keselamatan anaknya hanya seringkali orang tua tidak tahu bagaimana caranya untuk melindungi anaknya secara baik dan tepat.
  3. Pengajaran kepada Guru, Staff dan pekerja tentang Undang-Undang Perlindungan anak, wawasan perlindungan anak dan bagaimana membangun lingkungan yang aman untuk anak.
Kasus JIS sebenarnya hanya satu dari sekian banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak. Kita tidak boleh mengabaikannya, tindakan ini harus menjadi prioritas dan segera! Bila menunggu pemerintah menginiasi perlindungan anak pastinya akan lama, semakin banyak anak menjadi korban.
Apabila ingin mendapatkan bahan pelatihan perlindungan anak untuk sekolah bisa menghubungi saya di obedagungnugroho(at)gmail(dot)com, saya berusaha untuk berbagi materi perlindungan anak yang bisa digunakan di sekolah-sekolah.
http://obednugroho.net/sekolah-dan-perlindungan-anak/

Sekolah dan Perlindungan Anak

Mengacu pada artikel seorang teman di http://obednugroho.net/sekolah-dan-perlindungan-anak/

Tantangannya adalah:

  1. Apakah sekolah memiliki keinginan untuk menaruh perhatian lebih (memang seharusnya 'lebih') untuk program dan kegiatan sekolah yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada para siswa berkaitan dengan kesadaran perlindungan anak, dalam hal ini termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak?
  2. Apakah para praktisi pendidikan di sekolah, dalam hal ini, para guru memiliki keinginan untuk menjadi teman bagi para siswa dan berani untuk bertindak jika ada dugaan kekerasan terhadap anak dalam lingkup sekolah (dan di luar lingkup sekolah)?
  3. Apakah pihak pimpinan sekolah siap untuk mengambil tindakan pendisiplinan (termasuk pemecatan) kepada pihak manapun dalam lingkup sekolah yang melakukan kekerasan terhadap anak? Mengingat nama baik sekolah cenderung lebih diutamakan dibandingkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak.

Monday, April 21, 2014

Project-Based Learning

http://www.edutopia.org/pbl-research-learning-outcomes


What is Project-Based Learning?
Project-based learning hails from a tradition of pedagogy which asserts that students learn best by experiencing and solving real-world problems. According to researchers (Barron & Darling-Hammond, 2008;Thomas, 2000), project-based learning essentially involves the following:
  • students learning knowledge to tackle realistic problems as they would be solved in the real world
  • increased student control over his or her learning
  • teachers serving as coaches and facilitators of inquiry and reflection
  • students (usually, but not always) working in pairs or groups
I'd like to highlight bullet number 3, 'teachers serving as coaches and facilitators of inquiry and reflection.' This is actually a great point about the Project -Based Learning. You see, in most traditional classes (with traditional teachers) the teachers do most of the talking. It seems that the primary responsibility of teachers is to explain, to do the talking. Most teachers will feel like they are not doing their job if they talk less. There is a tendency to avoid students do most of the discussion. That is why this project-based approach will take some time for many teachers because in this approach students will do the discussion while the teachers will only act as the facilitator, in this case the students will do most of the talking and working. Teachers will do the observation and give guidance. Isn't it awesome?

So, the challenges here are:
1. teachers start implementing  Project-Based Learning
2. teachers enjoy being facilitators for the students

Thursday, February 13, 2014

How to respond to a 'cheater'.....

Ketauan Nyontek

Tetap Disuruh Belajar

Dihibur Jerapah

Kenapa Tak Suka Fisika?

Gajah Harusnya Berekor

Penggemar Beyonce

Fans Kura-Kura Ninja

Bonus Formulir

Source:
http://www.kapanlagi.com/plus/jawaban-guru-paling-kocak-di-lembar-ujian-bikin-ngakak-601fad-8.html