Cuplikan dari 'Papap, I love you', novel karya Sundari Mardjuki
"Berapa banyak sih bintang yang ada di langit itu?" tanya Kaka tiba-tiba.
"Banyak. Tak terhitung," jawab Bima dengan nada ogah-ogahan. Maklum, matanya sudah menuntutnya untuk istirahat.
"Kalau tak terhitung, berarti langit itu gede banget ya, Pap?" Suara Kaka masih terdengar segar. Tumben, meski sudah jam 10 malam ia belum mengantuk sama sekali.
"Ya, begitulah," kata Bima sambil menguap lebar-lebar. "Tahu nggak, matahari yang biasa kita lihat di siang hari itu sebenarnya bintang juga. Besar sekali, lebih 100 kali llipat besarnya dari bumi yang kita huni. Bintang yang kita lihat sekarang ini bisa jadi lebih besar dari matahari yang selalu menyinari bumi kita. Jadi, bayangkan saja betapa luasnya semesta itu untuk menampung bintang yang jumlahnya tidak terhitung," kata Bima lagi. Entah kenapa kantuknya sekarang hilang. Ia justru teringat pelajaran astronomi dulu yang sempat mengusik keingintahuannya. persis seperi kaka saat ini.
"Berarti kita ini kecil sekali ya, Pap, dibandingkan semesta?" tanya Kaka lagi.
Bima mengganti posisinya tidurnya. Kali ini ia memiringkan badannya hingga menghadap Kaka. "Betul sekali. Kita ini kecil sekali. Nggak ada apa-apanya dibandingkan benda-benda yang ada di semesta. Kita ini mungkin lebih kecil daripada debu," katanya sambil menjentikkan jarinya.
"Kalau manusia saja tidak ada apa-apanya, mestinya kita nggak perlu kuatir ya kalau lagi sedih, karena kesedihan kita juga tidak ada apa-apanya kan, Pap?" tanya Kaka lagi. Matanya masish menatap langit.
Terasa ada sodokan kecil yang mendarat di perut Bima. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak mengira kalimat yang diluncurkan Kaka memberikan efek luar biasa pada dirinya. Kesedihan kita tidak ada apa-apanya? Inikah pesan kehidupan yang dikirimkan Sang pemilik Semesta melalui kata-kata polos bocah yang dikasihinya? Betapa dia merasa selama ini dunia tidak berpihak kepadanya. Dia menabung sakit hati yang setia dipanggulnya ke mana pun dia pergi. Rasa sakit itu sudah seperti candu, yang membuatnya jengah untuk bangkit. Betapa waktu disia-siakan untuk terus berkubang dalam keterpurukan dan meratapi kehidupan, padahal semesta terus bergerak, saling berformasi dalam menata keseimbangan. Bima menatap dalam-dalam wajah Kaka, yang masih mendongak menatap bintang-bintang. Ada banyak PR yang harus diajarkan ayah kepada anaknya, tetapi jauh sebelum itu dia harus menyelesaikan PR dirinya sendiri. Bagaimana ia sanggup memimpin titipan Ilahi itu, jika ia sendiri belum mampu memimpin dirinya sendiri?
No comments:
Post a Comment